Dua wajah itu terlihat berseri-seri, masuk ke apartemen baru. Apartemen yang baru saja mereka tempati. Saling berpandangan disinari oleh lilin kecil yang ada di ruangan apartemen itu. Setelah itu mereka memandang ke sekeliling ruangan. Di sudut ada radio dan televisi serta ada satu lemari es yang di dalamnya pasti ada makanan segar, begitu pikir mereka. Di sebelah sana, di dalam kamar ada ranjang. Mereka berpikir, seandainya ruangan itu lebih luas lagi, perabotnya pasti lebih banyak. Sambil melepaskan jas barunya, si pengantin pria, seraya tersenyum, berkata, “Inilah apartemen baru kita, sayang.”
“Ya, terima kasih engkau sudah menyiapkannya untuk kita berdua, sayang.”
“Di sini terasa kental selera orang tuamu dalam menata ruangan apartemen ini.”
“Jangan lupa aku juga ikut menatanya.”
Ia mencium pipi istrinya dan tersenyum kemudian berkata, “Apartemen sederhana, lumayan untuk kita berdua.”
“Ya, benar.”
“Hei, mana bibi Abdullah?”
“Mungkin sedang di dapur atau di kamar mandi.”
“Sayangku, kau yakin ia dapat dipercaya?”
“Sangat bisa dipercaya. Sudah sepuluh tahun ia bersama ibuku.”
“Kalau begitu di apartemen ini ada orang lain selain kita berdua. Dan orang itulah yang akan mengurusi semua kebutuhan kita di sini. Kita akan membuatnya sibuk, sangat sibuk. Ia akan melayani kita setiap saat selain istirahat dan tidur.”
“Jarang sekali keluarga muda yang memiliki pembantu sebaik dia.”
“Apartemen yang indah ini belum cukup baik bila tidak ada pembantu di dalamnya.”
“Itulah pentingnya pembantu. Tetapi di sisi lain ia juga menjadi masalah, walau demikian…”
Si pengantin pria itu sepertinya mencium bau sesuatu yang kurang sedap. Ia bertanya,
“Apakah kau mencium sesuatu. Bau yang aneh?”
“Bau yang aneh?”
Si pengantin wanita pun mengendus-endus kemudian berkata,
“Ya, aku juga mencium sesuatu. Bau yang aneh.”
“Bau masakan.”
Mereka berdiri, memeriksa seluruh sudut ruangan. Di bawah kursi dan di bawah sofa. Yang pria berteriak terkejut,
“Ada panci di bawah sofa.”
“Panci?”
Ia mengeluarkan panci itu dari bawah sofa sambil menutup hidung. Dengan perasaan jijik ia berkata,
“Panci untuk masak ada di ruang tamu!”
“Panci yang sangat kotor. Apa artinya ini?”
“Aku tak pernah membayangkan sebelumnya.”
Ia menepuk-nepukkan tangannya yang gemetaran.
Sementara si pengantin wanita berteriak,
“Bibi Abdullah!”
Terdengar suara langkah kaki yang berat masuk menemui mereka. Seorang pemuda tanggung dengan tubuh gemuk dan kekar namun pendek. Wajahnya muka idiot dengan leher dan kepala yang kaku. Terlihat keras dan berotot seperti tukang kuli panggul. Dan tatapan matanya terlihat tolol. Si pemuda tanggung itu mengenakan celana yang sudah kumal, bajunya berwarna hitam dan sandal yang dipakainya kebesaran. Ia memandang pengantin baru itu dengan tolol. Kedua bola mata itu seperti mengatakan bahwa ia sangat terkejut. Terkejut bukan kepalang. Dan pasangan pengantin baru itu saling berpandangan, tapi kemudian mereka memelototi wajah idiot yang ada di hadapan mereka.
Yang wanita bertanya,
“Kau siapa?”
Ia tidak menjawab, sepertinya ia tidak mendengar pertanyaan itu. Akhirnya si pria berteriak dengan suara sekeras-kerasnya,
“Siapa kau, heh?”
Ia memandang si pengantin pria sambil bergumam pelan dengan suara tanpa rasa,
“Aku anaknya bibi Abdullah.”
“Siapa yang menyuruhmu masuk ke apartemen ini?”
“Ibu memintaku untuk menggantikannya selama ia pergi.”
“Bukankah ia ada di dalam?”
“Ibu pergi ke Tanta untuk menghadiri undangan pesta ulang tahun Sayid.”
“Kapan ia pergi?”
“Pagi tadi.”
“Tetapi ia tidak meminta izin kepada kami. Bahkan ia tidak pernah menyinggungnya.” Ucap pengantin wanita, penasaran.
Si pemuda tanggung itu tetap dengan tatapan tololnya hingga si pengantin pria menanyainya,
“Kapan ia akan pulang?”
“Tidak tahu.”
“Apa yang kau kerjakan?”
“Tidak ada.”
“Apa yang kau tahu tentang mengurus rumah?”
“Tidak ada.”
“Apakah kau bekerja?”
“Tidak.”
“Bagaimana kau dapat hidup?”
“Dengan makan, minum dan tidur.”
Si pengantin pria itu menghembuskan nafasnya karena kesal. Kemudian ia bertanya lagi,
“Kenapa ibumu memintamu menggantikannya sedangkan kau tidak bisa apa-apa?”
“Untuk menggantikannya selama ia pergi.”
“Dia kalau di sini mengerjakan segala sesuatu.”
“Ibu berkata kepadaku, ‘Tinggallah di sini sampai ibu pulang’.”
Si pengantin pria itu membasahi bibirnya yang kering. Ia menunjuk ke arah panci dan bertanya dengan nada keras,
“Apakah kau menggunakan panci itu sebelumnya?”
Ia melirik panci itu dengan malas dan berkata,
“Tidak ingat.”
“Apakah kau makan kubis?”
“Ya.”
“Di sini. Bukankah demikian?”
“Tidak ingat.”
“Kemudian kamu menaruhnya di bawah sofa?”
Dengan nada senang yang aneh pemuda tanggung itu menjawab,
“Kami sudah lama mencarinya.”
Si Pengantin pria itu sudah tak tahan lagi. Ia berkata,
“Jangan kau teruskan ucapanmu itu. Bagaimana pun kau dipersilahkan pergi.”
Si Pemuda tanggung itu memutar tubuhnya untuk kembali ke tempat semula, tetapi Si Pengantin menghentikannya, jari telunjuknya menunjuk ke pintu pagar di halaman apartemen. Dengan dungunya pemuda tanggung itu menghilang menuju pintu pagar di halaman. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali sambil berkata,
“Itu adalah pintu untuk keluar.”
“Aku tahu itu.”
“Kau mengusirku?”
“Kami tidak memerlukanmu.”
“Ibu bilang, ‘Tinggal di sini sampai ibu pulang’.”
“Apartemen ini milik kami.”
“Aku tidak tahu selain ibuku.”
Pengantin wanita berbicara,
“Apakah kau ingin tetap di sini?”
Dengan meyakinkan ia menjawab,
“Aku akan tetap di sini sampai ibu pulang.”
“Tapi kami tak membutuhkanmu.”
“Aku akan tetap di sini sampai ibu pulang.”
Si wanita termenung mendengar jawaban tersebut. Ia memandang ke arah suaminya. Sang suami sadar bahwa dia diminta untuk segera bertindak. Sedangkan anak pembantunya itu berdiri mematung di hadapannya.
Kemarahannya memuncak, ia berteriak sekencang mungkin,
“Pergi! Sekarang!”
“Ibu mengatakan, ‘Tetaplah di sini sampai ibu
pulang’.”
“Pergilah dari hadapan kami. Jangan menentang.”
“Aku tidak akan pergi. Kau saja yang pergi kalau kau
mau.”
Si Pengantin pria itu sangat marah. Ia melabrak tubuh Si Pemuda tanggung itu dengan sekuat tenaganya. Tetapi itu tak ada pengaruhnya, malah dirinya yang terbanting ke sudut ruangan oleh dorongan bahu pemuda itu. Ia langsung bangkit, kemarahannya sudah tak tergambarkan lagi. Tetapi ia tak punya cukup tenaga untuk menyingkirkan pemuda itu.
Si Pengantin wanita bergegas menuju jendela untuk meminta pertolongan. Ia membuka jendela berteriak sekerasnya, meminta pertolongan. Namun tiba-tiba potongan batu bata berseliweran lewat jendela, masuk ke ruangan. Pasangan pengantin baru itu pun bertiarap menghindari hujan batu. Mereka sangat ketakutan.
“Apa yang terjadi pada orang-orang itu?”
“Melempari kita dengan batu bata sebagai jawaban atas permintaan tolong kita?”
Si Pemuda tanggung itu melangkah menuju meja tamu yang ada di ruangan itu kemudian mengangkatnya dan melemparkannya ke luar jendela. Setelah itu ia menutup jendela itu. Si Pengantin pria berteriak,
“Apa yang kau lakukan?”
Pemuda tanggung itu kembali ke posisinya dan berkata,
“Selamanya kami selalu saling menyerang.”
“Saling menyerang?”
“Dan kami selalu menang.”
Dengan suara yang tercekik si wanita bertanya,
“Mengapa kau menjadikan apartemen kami sebagai ajang peperangan?”
“Itu salah mereka. Setiap kami melongok jendela, mereka langsung menyerang kami. Kami mengusir mereka dengan melempari mereka dengan batu, mereka pun menyerang kami dengan lemparan batu bata.”
“Kau telah membuat kami menjadi musuh anak jalanan itu!”
“Bodo amat!”
“Apakah kau tidak merasa bahwa kau telah merusak apartemen ini? Padahal apartemen ini bukan milikmu.”
“Itu salah mereka, bukan salah kami.”
“Kau sudah merusak semua barang berharga di sini dan mengajak kami berperang.”
“Apakah itu balasanmu pada kami yang menjaga apartemenmu?”
“Terima kasih, tuan. Aku tak menginginkan apa-apa selain kau pergi dari sini secepatnya.”
Pemuda tanggung bertubuh gempal itu menggerakkan bahunya yang lebar, kemudian melangkah menuju pintu luar. Selama ia pergi mereka berdua masuk ke dalam
dengan waspada. Yang wanita bergumam,
“Minta tolong!”
Si pria menuju telpon, mengangkat gagang telpon dan memutar nomornya. Tapi ia kemudian meletakkan kembali gagang telpon. Ia berkata dengan marah,
“Sambungannya diputus!”
“Oh Tuhan.”
“Mungkin dia yang melakukannya, bisa jadi dia juga merusak radio dan televisi.”
“Rampok sekarang ada di apartemen kita. Kita harus melakukan sesuatu.”
“Kita pergi saja ke kantor polisi.”
“Apartemen ini pasti sudah hancur selama kita pergi.”
“Itu lebih baik dari pada tidak melakukan apa-apa.”
Mereka berdua pergi menuju pintu luar. Tak lama kemudian mereka kembali, yang pria berkata,
“Pintu sudah digembok.”
Ia kemudian mencari kunci di laci, tapi ia tak menemukannya. Ia bergumam,
“Cecunguk itu ternyata tak sebodoh yang kita bayangkan.”
“Dia telah menyekap kita.”
“Kita disekap karena kepeduliannya.”
Dan tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dapur. Suara kaki yang menendang, tinjuan tangan, tumbukan kepala dan tubuh yang jatuh di lantai. Gedebrag-gedebrug tidak karuan, kadang terdengar barang pecah dilamparkan ke dinding dan teriakan yang histeris.
Belum juga mereka menyadari apa yang terjadi, pemuda tanggung bertubuh kekar itu muncul sambil menggelendang seseorang ke ruang tamu. Kemudian saling menyerang, saling banting. Terjatuh berguling saling menindih. Sampai si pemuda tanggung yang bertubuh kekar itu menguasai gerakan lawannya. Dan lawannya itu menyerah. Ia berteriak keras,
“KO!”
Ia bangun dan lawannya juga ikut bangun. Mereka bersalaman hangat setelah mereka saling banting dalam pertarungan seperti dalam pertandingan olah raga yang sportif. Mereka baru menyadari ada sepasang pengantin di sana. Mereka memandang pasangan pengantin itu dengan tolol dan dingin. Suasana sunyi mencekam.
Kemudian si pengantin lelaki, setelah terlepas dari keterkejutannya, menunjuk pada orang yang baru dilihatnya itu sambil bertanya pada pemuda tanggung kekar yang sudah dikenalnya,
“Siapa ini?”
“Teman!”
“Apakah ia bersamamu sebelumnya?”
“Ya.”
“Apakah ibumu tahu ia bersamamu?”
“Tidak.”
“Mengapa kau mengajak yang lain ke apartemen ini?”
“Karena tak ingin sendirian dan kami harus melanjutkan latihan kami.”
“Apakah kau orang yang waras?”
“Kami sedang berperang dan kami harus terus latihan.”
“Kau kira kau pemilik apartemen ini!”
“Aku tak suka tinggal di rumah!”
Yang wanita berkata,
“Kalau begitu tinggalkan apartemen ini dengan baik-baik!”
“Ibu bilang, ‘Tinggallah di sini sampai ibu pulang’.”
Yang pria berkata,
“Kami sudah ingin meninggalkan apartemen ini, tapi mengapa kau mengunci pintunya?”
“Sampai ibuku pulang dari rumah tuan Sayid.”
“Tapi kami harus pergi.”
“Ke mana?”
“Ah, tolol sekali pertanyaanmu itu. Bukankah kami orang yang bebas?”
“Siapa tahu kalian bukan pemilik apartemen ini?”
“Apakah itu meragukanmu?”
“Kalian harus tetap di sini sampai ibuku pulang dari rumah tuan Sayid.”
Si pengantin pria itu menggretakan giginya karena marah dan ia berkata,
“Paling tidak kau harus menghargai kami.”
Pemuda tanggung yang bertubuh kekar itu menunjuk pada kawannya sambil berkata,
“Ia ingin mencoba kekuatannya denganku. Kau sendiri sudah melihat kekuatannya itu.”
“Sudah, cukup. Kalian sudah membuat kacau suasana di sini.”
“Setelah itu kalian akan melihat kami menari-nari bersama.”
“Kami ingin kedamaian dan ketenangan.”
“Apakah kau suka menyanyi dan menari?”
“Menyanyi dan menari!”
“Bersama kami, di dapur ada penyanyi dan para pengiringnya.”
Pasangan pengantin itu berteriak bersamaan,
“Apa katamu?”
“Mereka adalah kawan-kawan yang dapat dipercaya.”
“Kau menjadikan apartemen ini tempat pesta!”
“Mengapa kalian berdua melarang kami tanpa alasan?”
“Semua itu kau anggap tanpa alasan?!”
“Kami tak pernah membayangkan ada sekelompok orang yang membenci orang lain. Padahal lebih baik berpesta.”
Pemuda tanggung bertubuh kekar itu mengangkat bahunya, mengejek. Kemudian ia menggandeng kawannya, mereka masuk menuju dapur.
Sepergi mereka pasangan pengantin baru itu saling berpandangan dalam kemarahan mereka yang tak terperi, dan rasa putus asa yang tak terkira sampai akhirnya mereka dapat mendengar suara alat musik ditabuh dan tarian sudah dimulai. Tak lama kemudian pemuda-pemuda tanggung yang kurang ajar itu terdengar menyanyikan lagu yang sangat aneh,
Wahai Jamrabah-wahai Jamrabah
Cincinmu ada enam dan cangkirnya
Yang wanita berkata,
“Bila seperti ini terus aku bisa gila.”
Yang pria nekat menuju jendela, si wanita mengingatkannya,
“Awas batu!”
“Mungkin mereka sudah pergi.”
Kemudian ia meraih gerendel jendela sambil berkata,
“Kita harus minta tolong pada orang lain.”
Jendela belum terbuka seluruhnya, batu bata sudah berterbangan di atas kepala seperti muntahan peluru.
Ia langsung menutup jendela sambil menggerutu. Ia bertanya seperti mendesis,
“Kita kalah?”
Yang wanita bergumam,
“Ini penjara yang mematikan.”
“Tapi kita harus menemukan jalan keluarnya.”
“Ya. Kita harus menemukan jalan keluarnya.”
“Tetapi bagaimana?”
“Ya. Bagaimana?”
Yang wanita berpikir sejenak dan bertanya,
“Kita harus bertanya apa yang kita inginkan?”
“Rencananya kedatangan kita ke sini adalah untuk berbulan madu dengan indah dan menyenangkan.”
“Tapi itu kemudian gagal karena ada anak-anak setan itu.”
“Kita harus menyelamatkan diri kita dari cengkraman mereka.”
“Ya. Kita harus memikirkan bagaimana caranya melepaskan diri dari mereka.”
“Pintu dikunci, telpon diputus dan jendela dihujani batu bata.”
“Tidak ada jalan keluar untuk menyelamatkan diri.”
“Kita terlalu lemah bila harus melawan mereka.”
“Tapi pasti ada caranya mengalahkan mereka.”
“Ya. Pasti ada caranya.”
“Mungkinkah kalau kita mengurung mereka di dapur?”
“Kita harus memeriksa pintunya dulu.”
“Aku akan pergi ke sana untuk membuat kopi.”
Tanpa ragu lagi si pengantin pria meninggalkan kamar.
Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa secangkir kopi. Pengantin wanita bertanya,
“Apa yang kau temukan?”
Dengan gelisah ia menjawab,
“Pintu dapur terbuka dan mereka duduk di lantai, salah seorang dari mereka menyandari pintu itu. Tapi masih ada harapan.”
“Benarkah?”
“Aku mengambil kunci dari rak.”
“Apakah kau menemukan kunci apartemen?”
“Mereka tak sebodoh yang kita bayangkan. Tetapi mereka…”
“Tetapi apa?”
“Mereka banyak minum.”
“Kita tunggu sampai mereka mabuk?”
“Ya.”
“Tapi itu berbahaya. Ibarat pedang, ia bermata dua.”
“Ya, mereka bertambah gila. Tetapi kalau mereka tertidur, pasti akan seperti mayat.”
“Kita harus menunggu sampai malam.”
“Malam tidak lama lagi.”
Pengantin wanita itu menghela napas sambil bertanya,
“Kapan bibi Abdullah pulang?”
“Itu tergantung pada selesainya pesta.”
“Apakah kau memiliki ide untuk malam yang besar ini?”
“Aku tak punya ide.”
Si pengantin wanita mencoba rileks dengan menyandarkan kepalanya yang berat pada dinding. Matanya memandang sesuatu di balik lemari es. Ia kemudian mendekati lemari es itu untuk memastikan sesuatu yang ada di belakangnya. Ia berkata merasa aneh,
“Rak-rak lemari es ini jebol dan tergeletak di belakangnya.”
Kemudian ia membuka pintu lemari es itu dan tiba-tiba ada bangkai manusia yang tertekuk, membeku dengan wajah tersungkur ke tanah. Ia menjerit seketika kemudian terkulai. Si pengantin pria memburunya dan memeluk tubuh istrinya yang hendak terjatuh. Si pria memeriksa mayat yang kini tergeletak di lantai, ia menundukkan wajahnya ke wajah mayat dan ia berkata, terkejut,
“Bibi Abdullah.”
Ia membaringkan istrinya di sofa kemudian kembali ke mayat itu, menggerak-gerakkan tubuhnya dan ia berkata,
“Sudah membeku.”
Si pemuda tanggung bertubuh kekar dan teman-temannya masuk ke ruang tamu dan berkata dengan nada kasar,
“Bisa diam enggak sih kalian?”
Tapi kemudian matanya memandang sesuatu yang sedang diperhatikan oleh pengantin pria itu dan ia bertanya,
“Apa itu?”
Setelah tak mendengar jawaban, ia berteriak,
“Jawab!”
Pengantin pria itu menjawab dengan kemarahan yang besar,
“Mayat.”
“Mayat?”
“Ya.”
“Ini apartemen apa kuburan?”
“Semula apartemen tapi sekarang ia menjadi kuburan.”
“Dari mana kau menemukannya?”
“Dalam lemari es.”
Temannya yang lain berkata,
“Mereka ini ternyata pemakan daging manusia.”
Pengantin pria itu berkata dengan ketus,
“Kalian yang membunuhnya dan menyimpannya dalam lemari es.”
Si pemuda tanggung yang bertubuh kekar itu bertanya, matanya kemerah-merahan karena mabuk,
“Apa yang membuat kalian membunuhnya?”
“Kaulah yang membunuhnya sebelum kami datang ke apartemen ini.”
“Kalau begitu, menurutmu siapa yang membunuhnya?”
“Diam, aku ingin bertanya padamu. Bukankah kau sudah ada di sini sebelum kami datang?”
Si pemuda tanggung itu menoleh pada teman-temannya dan bertanya,
“Menurut kalian, apa hukuman untuk orang ini?”
Mereka menjawab,
“Dia sudah terbunuh dan pembunuhnya harus bertanggungjawab.”
Tukang tabuh kendang berkata,
“Dia pasti sudah gila. Orang yang membunuh adalah orang yang sudah gila.”
Si penari berkata,
“Ia menyimpannya dalam lemari es berharap mayat itu menjadi daging ayam Kalkun.”
Si pengantin pria berkata pada si pemuda tanggung yang bertubuh kekar,
“Lihat wajah mayat itu?”
“Itu tidak penting bagiku.”
“Itu mayat ibumu.”
Ruangan itu gaduh oleh gelak tawa mereka. Si pengantin pria itu berteriak,
“Itu mayat bibi Abdullah!”
Si pemuda tanggung itu berkata kelu,
“Ibuku pergi ke pesta tuan Sayid.”
Si pengantin pria itu menunjuk pada mayat dan bertanya,
“Bukankah itu ibumu?”
“Ya itu ibunya, pembunuh.” Ujar si penari.
“Ibunya pergi ke pesta tuan Sayid.” Sahut teman-temannya yang lain.
“Dia ingin dianggap gila agar terhindar dari hukuman.” Tambah tukang tabuh kendang.
Si pemuda tanggung itu berteriak,
“Bagaimana mungkin orang yang sudah mati keluar dari kuburannya?”
Si pengantin pria berteriak,
“Jangan menghindar dari pengadilan!”
Mereka semua berkata,
“Kau membunuh orang yang merawat apartemenmu. Kau benar-benar orang yang tidak beradab.”
“Dia membunuh pembantunya itu karena tidak mau membayar upahnya.” Ujar si penari.
“Kau harus mendapatkan ganjaran setimpal, pembunuh!” Tambah si pemuda tanggung pada si pengantin pria.
Si pengantin pria itu berteriak menentang mereka,
“Apakah kalian menuduhku? Kalau begitu, panggil polisi!”
Mereka tertawa terbahak-bahak dan si pemuda tanggung berkata,
“Kami adalah polisi dan kami juga hakim.”
Si penari ikut berkata,
“Kita harus mengajukan dia ke mahkamah agung.”
Si pemuda tanggung berkata lagi,
“Nanti setelah kita menyelesaikan pesta kita.”
Teriakan mereka semakin ramai karena gembira. Setelah itu mereka meninggalkan ruangan itu. Si pengantin pria memejamkan matanya karena lelah. Ia berpaling pada istrinya yang terbaring di atas sofa. Ia mengangkat mayat bibi Abdullah kemudian meletakkannya di atas bangku panjang tak jauh dari situ. Ia menutupi mayat itu dengan kerudung yang terikat di lehernya. Ia kembali kepada istrinya sambil berbisik,
“Bagaimana keadaanmu?”
Dengan suara lemah istrinya menjawab,
“Mereka akan menghakimi kita sebelum kita melawan.”
“Masalahnya apa yang akan mereka lakukan setelah ini. Sementara mereka sangat ceroboh dalam memutuskan sesuatu.”
“Kita harus secepatnya menemukan jalan keluar.”
“Kita mengharap apa yang terpikir dan yang tak terpikir oleh kita.”
“Mereka tidak akan membiarkan kita hidup-hidup.”
Si pengantin pria itu berkata dengan penuh kemarahan,
“Kalau kita tidak ingin mati, kita harus melawan.”
Si pengantin wanita bergumam,
“Itu bagus, tapi kita masih menginginkan hidup.”
“Tidak ada orang yang ingin mati. Menurutku, sebaiknya kau istirahat di kamar tidur.”
“Dan kau?”
“Entahlah, aku tak bisa berpikir. Kepalaku terus berputar-putar.”
“Apakah mereka akan benar-benar menghukummu?”
“Mereka tidak takut apa pun.”
“Seperti perampok.”
“Bisa jadi mereka akan membunuhku, seperti mereka membunuh perempuan baik itu.”
“Apakah perempuan itu benar-benar ibunya?”
“Tak ada yang berubah sedikit pun.”
Dengan suara bergetar, si pengantin wanita berkata,
“Kita tidak boleh mati seperti kambing.”
“Kita harus melawan mereka sampai mati dan menghajar mereka semampu kita.”
“Aku ingin melakukan sesuatu yang berarti bukan hanya menunggu perang usai.”
“Pikirkanlah. Pikirkan keadaanmu. Diantara kita harus ada yang menerima wasiat, kamu jangan ikut perang.”
“Aku tahu, aku terlalu ketakutan.”
“Perang ini lebih besar dari rasa takutmu.”
“Itu benar.”
“Keseriusan dalam hidup itu diciptakan untuk menyia-nyiakan hidup itu sendiri.”
“Kita perlu kekuatan untuk membuktikan ungkapan itu. Itulah masalah ungkapan yang indah.”
“Apakah kau punya ide yang lain?”
“Aku tak dapat berpikir.”
“Yang penting tekad kuat dalam menjalankan rencana kita.”
“Meski akibatnya buruk?”
”Ya. Meski akibatnya buruk.”
Si pengantin wanita itu mendesah,
“Tadinya yang kubayangkan adalah bulan madu yang indah.”
”Singkirkan mimpi-mimpi yang melemahkan niat kita.”
“Baiklah.”
“Istirahatlah sebentar di kamar tidur.”
”Aku takut mereka menyadari kepergianku.”
”Mereka orang-orang mabuk dan yang pertama mereka cari adalah aku.” Pengantin wanita itu berdiri. Mencium suaminya lalu pergi ke tempat tidur.
Sepergi istrinya, tak lama kemudian, si pemuda tanggung dan gerombolannya itu masuk. Mata mereka merah karena mabuk. Memancarkan keinginan mereka yang buruk. Mereka berdiri setengah mengelilingi pengantin pria dipimpin oleh si pemuda tanggung yang kekar itu.
Ia menunjuk mayat dan bertanya,
“Siapa yang membunuh perempuan ini?”
Gerombolan itu menjawab serempak,
“Kau tuan!”
Dia tertawa diiringi oleh tawa gerombolan itu, kemudian bertanya,
“Hukuman apa untukku?”
Mereka menjawab,
“Dibebaskan.”
Si pemuda tanggung itu tertawa dan mereka semua tertawa. Kemudian ia bertanya,
“Siapa yang telah merusak kehormatan mayat ini?”
Mereka menunjuk pada pengantin pria itu dan berkata,
“Dia!”
“Hukuman apa yang layak untuknya?”
“Dibunuh.”
Si pengantin pria itu melemparkan pandangannya pada si pemuda tanggung dan bertanya,
“Apakah kau mempunyai pembela untuk dirimu?”
Ia tidak menjawab. Si pengantin pria itu memutarkan pandangannya, ia melihat bahwa gerombolan itu sudah siap menyergap dirinya hanya dengan sekali perintah dari si pemuda tanggung. Dalam keadaan seperti itulah terdengar teriakan histeris dari dalam kamar tidur.
Pengantin wanita berlari keluar dari kamar sambil berkata,
“Ada orang dalam lemari pakaian.”
Mereka semua terkejut. Bersamaan mengucapkan,
“Orang!”
Dan seorang lelaki keluar dari kamar tidur. Ia memakai topeng, menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya. Mereka saling berpandangan, terkejut dan marah dan siap untuk menghajar orang yang bertopeng itu. Dia yang baru datang itu, tak terlihat keraguan dan rasa takut dalam sikapnya, bahkan dia bertanya dengan suara lantang,
“Siapa kalian? Mengapa kalian ada di sini?”
Si pengantin pria tak kalah garang menanyainya,
“Kau siapa? Apa yang membuatmu ada di sini?”
Orang yang bertopeng itu menjawab,
“Aku ada di apartemenku.”
“Apartemenmu! Ini apartemenku. Kau lancang.”
“Aku tak butuh ancaman. Ini apartemenku.”
Si pemuda tanggung berkata, jengkel,
“Dajjal. Kau adalah maling. Aku ingat kali pertama kumelihatmu.”
“Diam, badut tolol. Kalau tidak, kuremukkan tulang rusukmu.”
“Apa kau bilang, maling?”
“Badut tolol, penghibur pesta yang sudah kuno. Aku tahu siapa kalian semua.”
Si pengantin pria berkata,
“Ini adalah apartemenku dan kau adalah maling seperti yang lainnya.”
“Kau sinting.”
“Pengadilan yang akan menentukannya.”
“Akan kulempar kau ke jendela. Itulah pengadilan yang kukenal.”
Si pengantin wanita bertanya,
“Kalau kau benar pemilik apartemen ini, mengapa kau bersembunyi dalam lemari pakaian?”
“Di dalam apartemenku aku bebas. Di mana saja aku mau tidur itu urusanku.”
“Tak ada orang yang mau tidur di dalam lemari pakaian.”
“Lemari pakaian adalah tempat istirahat pavoritku. Aku tak perlu menjelaskannya pada siapa pun.”
Si pemuda tanggung yang bertubuh kekar itu berkata,
“Kau adalah maling. Maling yang biasa masuk rumah orang. Aku mengenalmu.”
“Diam kau badut tolol.”
Si pengantin pria berkata,
“Kita harus memanggil polisi. Biarlah polisi yang mengusut kebenarannya.”
“Aku tak suka polisi.” Ujar orang yang memakai topeng, tegas.
“Karena kau maling, seperti yang dikatakan pembunuh ini.” Ucap si pengantin pria dengan marah.
“Pembunuh? Apa badut tolol ini telah membunuh seseorang?”
“Itu mayat korbannya.”
Orang bertopeng itu melirik mayat yang ada di sana dan berkata,
“Kau sudah lebih maju lagi, badut pesta.”
“Korban itu adalah ibunya.”
“Ia membunuh ibunya! Itu sangat hebat, tidak mungkin badut ini melakukannya. Bagaimana kau bisa melakukan ini, badut pesta?”
Si pemuda tanggung bertubuh kekar itu berkata,
“Maling, hati-hati kau pada gempa akibat terjangan kakiku!”
Orang bertopeng itu berkata, mengejek,
“Selamat datang gempa. Ia adalah obat pegalku.”
Sementara itu si pengantin wanita beranjak menuju dapur. Langkah demi langkah dan mata pengantin pria itu meliriknya dengan gelisah. Ia mencoba menutupi pandangan orang-orang yang ada di situ agar tidak melihat kepergian istrinya. Ia berkata pada mereka,
“Kita sangat membutuhkan pengadilan. Si pemuda tanggung ini merasa bahwa dirinya adalah hakim, padahal ia adalah pembunuh. Dan orang bertopeng itu mengaku bahwa dialah pemilik apartemen ini, padahal dia adalah pencuri, seperti yang kalian katakan. Dan aku adalah pemilik apartemen ini. Tapi kalian menuduhku membunuh perempuan yang baik itu. Apa jalan keluar dari masalah yang runyam ini? Tak ada cara lain. Kita harus menyerahkan kasus ini pada polisi.”
Orang bertopeng itu berkata, mengejek,
“Usulmu itu akan kulemparkan ke dalam sumur yang paling dalam.”
“Tidak ada yang lebih mudah selain memanggil polisi.”
“Tetapi masalah akan dimulai dengan datangnya polisi. Kita akan diperiksa, lama dan sangat menjengkelkan, kemudian polisi akan menyerahkan kita pada penyidik yang akan mengintrogasi kita berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Siapa yang membunuh, siapa pencuri dan siapa pemilik apartemen ini. Kemudian kita dioper ke pengadilan. Kita akan diperdebatkan antara pengacara dan jaksa sampai akhirnya ada kesepakatan di antara mereka. Kita terus menunggu dari waktu ke waktu. Hukum belum juga dijatuhkan pada kita hingga ada orang yang dapat menginjakkan kaki di bulan. Dalam kondisi seperti itu, kita benar-benar telah kehilangan kesempatan hidup. Kita merugi tiada tara. Jangan lupa masalah ini tidak akan pernah terselesaikan oleh pengadilan.”
“Tapi itu lebih pasti dan lebih adil.”
“Lebih mudah lagi bila kau menghajar perut musuhmu dengan satu tinjuan yang telak, maka musuhmu tahu apa hakmu. Setelah itu kalian bersalaman dan anggap saja tidak terjadi apa-apa.”
Si penari maju selangkah dan berkata,
“Apa yang kalian perdebatkan? Bukankah masalah itu akan beres dengan sendirinya?”
“Sebaiknya kita dengarkan pelawak ini!” Ejek orang yang bertopeng.
Si penari itu berkata lagi dengan tenang, tidak terpengaruh oleh ejekannya,
“Tak perlu mencari siapa pembunuhnya. Bukankah dia sudah divonis dengan dibunuh.”
Mereka semua menjawab serempak dengan semangat,
“Dengan membunuhnya maka batallah kepemilikannya atas apartemen ini.”
Si penari berkata lagi, melanjutkan ucapannya tadi,
“Dan apartemen ini akan menjadi milik kita bersama atas dasar azas Sosialisme.”
Orang yang bertopeng itu tersenyum untuk pertama kalinya, tapi kata-katanya tetap keras,
“Aku tak setuju Sosialisme.”
“Aku juga menolak azas itu.” Teriak si pemuda tanggung tak kalah sengit.
“Biarkan kekuatan yang menentukan bagian dari setiap orang di sini.” Ucap orang yang bertopeng.
Si pemuda tanggung bertubuh kekar itu berkata,
“Bagus begitu.”
Si penari berkata,
“Bagus, kita lebih banyak dari yang dia kira.”
Gerombolan itu mengelilingi si pemuda tanggung dan si penari berdiri di sebelah kiri orang yang bertopeng itu. Dengan cara itu ia akan menundukkan orang bertopeng. Sementara itu si pengantin wanita sudah berdiri di dekat suminya. Ia menyelipkan sesuatu ke kantong jubah suaminya. Kemudian mereka berdua menatap segerombolan orang yang akan membunuh mereka berdua, yang akan menghancurkan apartemen mereka, yang akan mengusir mereka.
Tetapi, tiba-tiba tercium bau yang aneh. Bau sesuatu. Sesuatu yang terbakar. Dan terdengar suara gemeretak benda terbakar dan kepulan asap. Suara gemeretak itu semakin keras. Dengan cepat suara gemeretak itu menggantikan keributan gerombolan itu. Dan menyadarkan mereka pada sesuatu yang sedang terjadi. Bersamaan mata mereka melihat ke arah dapur. Asap telah menyelubungi dapur dan mereka panik.
Si pengantin wanita berteriak pada mereka semua dengan keras.
“Api!”
“Dapur terbakar!”
“Apartemen ini dalam bahaya.”
“Kita semua terancam bahaya.”
“Semuanya dalam bahaya.”
“Kita harus memadamkannya, bagaimanapun caranya.”
Suara benda terbakar semakin keras, merayap. Tetapi dari luar suara itu hampir tak terdengar. Bel pintu berbunyi tak henti-hentinya. Dan suara dering kencang itu beralih ke pintu luar. Mereka berhamburan keluar. Sementara orang yang bertopeng itu melompat ke hadapan si pengantin pria sambil berteriak,
“Aku tidak akan membiarkanmu lolos.”
Ia menangkap si pengantin pria itu. Dan dengan sangat cepat si pengantin pria itu menghunjamkan pisau yang diambilnya dari saku jubahnya ke jantung orang bertopeng itu. Orang bertopeng itu tersungkur ke tanah tanpa sempat bersuara lagi. Kejadian singkat itu terlihat oleh si pemuda tanggung bertubuh kekar. Ia langsung melompat ke arah pengantin pria sambil berteriak.
“Pengkhianat.”
Ia mencekik pengantin pria. Tetapi dengan cekatan si pengantin wanita menghunjamkan pisau ke leher si pemuda tanggung itu.
Kejadian itu berjalan sangat cepat bagai kilat. Pintu luar telah terbongkar. Pasukan pemadam kebakaran masuk berhamburan, sementara sirine mobil terus berbunyi diiringi peluit komando. Kekacauan di dalam apartemen itu tersaput oleh suara jilatan lidah api yang melahap benda-benda terbakar dan oleh suara semburan air yang terus mengalir dari selang mobil pemadam kebakaran.
***
Pada sore hari itu ketenangan kembali utuh di tempat itu. Apartemen telah ditinggalkan oleh orang yang tak dikenal. Tak tersisa dari bangunan itu selain besi kawat dari sofa dan ranjang serta tembok-tembok semen yang gosong. Sepasang suami istri itu duduk di atas puing-puing kuil mereka yang sudah hangus. Tak ada atap yang menaungi mereka selain awan yang bergulung-gulung di langit. Wajah mereka masih menyiratkan rasa takut dan cemas serta kengerian yang tak terhingga, dan pakaian mereka telah robek-robek tak menentu. Mereka berdua memandang ke sekeliling mereka dengan ketir dan mereka saling berpandangan.
Tiba-tiba mereka tergelak dalam tawa mereka yang aneh. Tawa histeris yang panjang sampai akhirnya mereka tenggelam dalam diam yang kelam. Meski mereka telah kehilangan apartemennya, hati mereka masih menyisakan secuil kebahagiaan. Suara si pengantin pria terdengar berkata dalam keluhnya,
“Semuanya sudah musnah.”
Si pengantin wanita menyandarkan kepalanya ke bahu suaminya dan berkata,
“Kita selamat karena mukjizat.”
Si pengantin pria itu menganggukkan kepalanya dan bergumam,
“Ya, kita selamat karena mukjizat.”
Kemudian dengan sangat lembut ia berkata lagi,
“Sesuatu yang abadi tidak akan pernah tersia-siakan.”
****
Diterjemahkan dari Antologi "Syahr al-'Asl" dari judul "Syahr al-'Asl" karya DR. Naguib Mahfoudz oleh Surgana, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Institut Agama Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Alamat Penerjemah: Sapen GK I / 533 Yogyakarta, 55221.